MENGGUGAT CHINA ATAS VIRUS COVID-19 OLEH YUDHA PANDE RAJA
- Fakultas Hukum UAJY
- 03 Jun, 2020
- Publikasi
- 467
MENGGUGAT CHINA ATAS VIRUS COVID-19
oleh Yudha Pande Raja, 170512864,
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Program Kekhususan Hukum Internasional,
stmrgyudha@gmail.com
Pandemi COVID-19 memberikan dampak kerugian ekonomi bagi banyak negara di dunia saat ini. Keadaan ekonomi yang memburuk akibat terhentinya produksi dalam negeri, kegiatan ekspor dan impor, lalu lintas perdagangan, dsb. Selain itu, pemerintah dalam negeri pun juga terbebani dengan kewajiban memberikan subsidi dan bantuan dalam negeri bagi warganya yang terdampak virus tersebut.[1] Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan kerugian akibat pandemi covid-19 akan mencapai 9 Trilliun Dollar AS, dan tidak ada satupun negara yang tidak terdampak dari krisis yang disebabkan bencana ini.[2] Kerugian besar tersebut menimbulkan kemarahan yang luar biasa bagi banyak pihak, tidak terkecuali pemerintah dan pelaku bisnis yang terdampak. Kemarahan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk gugatan yang menyasa ke Negara China, negara yang disinyalir sebagai tempat kelahiran Virus Covid-19. Setidaknya ada empat gugatan hukum berproses di Amerika Serikat yang menuntut kompensasi dari pemerintah China. Negara bagian Missouri di Amerika Serikat melalui Jaksa Agung Negara telah melayangkan gugatan dengan tuduhan bahwa pemerintah China telah menyembunyikan informasi Covid-19 dan lamban menanganinya, sehingga virus dapat menyebar sampai ke Amerika Serikat.[3] Sekelompok warga di Negara Bagian Texas, Amerika Serikat juga melayangkan gugatan class action dengan tuntutan kompensasi sebesar 20 Trilliun Dollar, atas klaim bahwa China mengembangkan senjata biologi berupa Virus Corona.[4] Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan bahwa gugatan kepada China adalah lelucon belaka sebab virus Covid-19 adalah musuh bersama dan pemerintah China telah memberikan informasi dan pencegahan penyebaran virus tersebut secara masif.[5]
Fenomena tersebut dapat ditelusuri dalam bidang hukum mengenai bagaimanakah proses gugatan terhadap China dapat dilaksanakan? Dalam Hukum Internasional terdapat banyak wadah bagi individu maupun pemerintah suatu negara untuk menggugat negara lain dalam suatu perkara. Gugatan dapat dilayangkan pada pengadilan suatu negara, atau Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase Internasional seperti Permanent Court of Arbitration. Namun harus diuji terlebih dahulu, apakah Lembaga peradilan tersebut memiliki kewenangan untuk mengadili. Apabila gugatan diajukan kepada pengadilan di suatu negara maka pemerintah China dapat berdalih dengan adanya kekebalan (imunity) yang dimilikinya sehingga tidak dapat diadili di Lembaga peradilan nasional. Hal tersebut dikenal sebagai Doktrin Imunitas yang mengijinkan suatu negara menuntut imunitas atau kekebalan di depan pengadilan nasional negara asing berkaitan dengan penerapan hukum lokal yang bersangkutan.[6] Kemudian bila gugatan diajukan ke Mahkamah Internasional, maka pengajuan gugatan hanya dapat dilakukan oleh Negara, bukan individu, korporasi, ataupun badan hukum. Mahkamah Internasional itu sendiri memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa negara antar negara-negara anggota, Lembaga ini juga memberikan pendapat atau nasihat kepada badan-badan resmi dan Lembaga khusus yang dibentuk oleh PBB. Pengajuan gugatan melalui jalur Mahkamah Internasional dapat menjadi pilihan yang tepat apabila suatu negara ingin menuntut ganti kerugian atas Covid-19 kepada Pemerintah China namun terdapat kendala yaitu dalam menetapkan perkara diperlukan adanya persetujuan terlebih dahulu dari para pihak yang bersengketa. Permasalahan lain yang timbul adalah yang menjadi pertanyaan, apakah yang menjadi dasar gugatan terhadap China?
Dalam penyelesaian perkara internasional (sengketa antar negara) di Mahkamah Internasional, hakim mengacu pada konvensi-konvensi internasional untuk menetapkan perkara. Oleh karena itu, kita harus mengetahui konvensi internasional apa yang mengatur ketentuan dan membahas seputar wabah dan pertanggungjawaban negara. Beberapa konvensi yang dapat dijadikan acuan gugatan adalah :
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)
Konvensi Perdagangan Internasional tumbuhan dan satwa liar spesies adalah perjanjian Internasional yang mengatur tentang perdagangan satwa liar dan spesies tertentu yang disusun berdasarkan sidang resolusi badan konservasi dunia tahun 1963. Konvensi tersebut merupakan instrument hukum yang melindungi lebih dari 33.000 spesies flora dan fauna dunia. Beberapa sumber dan laporan meyakini bahwa virus Covid-19 lahir dari pasar hewan di kota Wuhan dimana hewan dengan spesies yang dilindungi dalam CITES seperti kelelawar diperdagangkan sebagai bahan makanan. Kondisi ini lah yang disinyalir melahirkan lingkungan bagi virus Covid-19 dan berpindah dari inang hewan menuju manusia. Untuk itu, gugatan terhadap China dapat didasari kelalaian dari pemerintah China dalam menghormati dan melaksanakan Konvensi CITES tersebut.
International Health Regulations (IHR) 2005
Peraturan Kesehatan Internasional adalah perjanjian internasional yang mengikat negara-negara di dunia, termasuk anggota World Health Organization (WHO), untuk bekerja sama dalam hal Kesehatan Internasional. Dalam Konvensi tersebut diatur mengenai kewajiban negara-negara anggota untuk memberikan informasi kepada WHO tentang keadaan suatu penyakit yang mungkin berkembang menjadi wabah ataupun pandemi (memicu kedaruratan masyarakat luas). Keterlambatan China sebagaimana didalilkan oleh penggugat diatas adalah bentuk kelalaian dari Pemerintah China, dan hal tersebut melanggar Hukum Internasional.
The Convention on the Prohibition of The Development Production and Stockpilling of Biological and Toxic Weapons and on their Destruction.
Konvensi Senjata Biologis (KSB) tahun 2008 adalah instrument hukum internasional yang membahas tentang pembatasan penggunaan ilmu biologi dan bioteknologi, yang tujuannya adalah penggunaan ilmu untuk pengembangan yang dikendalikan agar tidak menjadi senjata bioligis. Pasal I konvensi tersebut menyatakan bahwa kewajiban negara anggota untuk mengawasi dan melakukan perlindungan terhadap mikroba atau agen biologis lain dalam tujuan damai dan pengembangan ilmu. Apabila para penggugat meyakini bahwa China telah mengembangkan virus Covid-19 untuk tujuan tertentu, konvensi ini dapat dijadikan dasar gugatan.
Konvensi-konvensi tersebut adalah contoh dari instrument hukum yang dapat dijadikan dasar gugatan terhadap China di Mahkamah Internasional. Namun, masih banyak faktor lain yang harus diteliti dalam menjatuhkan gugatan tersebut, seperti beban pembuktian terhadap gugatan, data dan fakta yang mendukung gugatan, dsb. Selain itu, eksekusi terhadap gugatan ganti kerugian dan kompensasi pun harus menjadi perhatian khusus, sejauh mana pertanggungjawaban negara terhadap kerugian negara lain, mengingat pemerintah China saat ini pun tengah berupaya untuk menghentikan laju penyebaran Virus Covid-19 ini, dan seluruh negara juga mengalami hal yang sama. Mengatasi berbagai permasalahan yang ada, dibutuhkan kesadaran dari dunia internasional untuk dapat menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada dengan baik.
[3]https://www.nytimes.com/2020/04/22/world/coronavirus-cases-world.html#link-6545699f
[5] https://www.wartaekonomi.co.id/read282431/china-kalem-hadapi-gugatan-gugatan-terkait-pandemi-corona
[6] http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/35735/Chapter%20II.pdf?sequence=5&isAllowed=y