Acara Konsolidasi Pertama FH UAJY untuk Menerjemahkan Gerak (ke Bawah?) Indonesia Pasca Pemilu 2024
- Tim Multimedia Fakultas Hukum
- 11 Jun, 2024
- Pojok Mahasiswa
- 48
Sabtu, (01/05) lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Das Sein dan Departemen Kajian Strategis (Dept. Kastrag) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan acara konsolidasi dengan mengusung tema “Hari Kelahiran Pancasila sebagai Bentuk Evaluasi Pemilu 2024” sekaligus perilisan majalah kolaborasi antara LPM das Sein dan Dept. Kastrag BEM dengan judul “Titik Nadir Demokrasi” yang diadakan di ruang 310, Gedung Santo Alfonsus. Acara ini merupakan kolaborasi antar dua lembaga tinggi sebagai penutup program kerja periode mereka pada bulan Juni 2024.
Acara ini menghadirkan enam dosen UAJY sebagai narasumber, antara lain: Y. Hartono, S.H., M.Hum., Y. Sri Pudyatmoko, S.H., M.Hum., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Budi Arianto Wijaya, S.H., M.Hum., B Hengky Widhi Aantoro, S.H., M.Hum., dan satu dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UAJY, Suryo Adi Pramana, S.I.P., M.SI. Turut hadir juga dalam acara tersebut, Dr. Vincentius Hari Supriyanto, S.H., M.Hum. sebagai Wakil Dekan I FH UAJY.
Berikut merupakan rangkuman dari pemaparan narasumber dalam acara konsolidasi yang diselenggarakan oleh LPM Das Sein dan Div. Kastrag BEM:
Nilai-Nilai Pancasila sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemilu 2024.
Pembicara pertama dimulai dari dosen yang paling senior, yakni Pak Hartono. Dalam pidatonya, beliau mengambil pijakan dengan berangkat melalui nilai-nilai Pancasila sebagai landasan penyelenggaraan Pemilu 2024. Pak Hartono mengajak hadirin untuk mengingat kembali sejarah terbentuknya rumusan Pancasila. Menurutnya, Pancasila secara substansi sudah ada jauh sebelum adanya proklamasi, bahkan sebelum adanya Indonesia. Sebab ketika Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan, nilai-nilai dalam Pancasila sejatinya sudah tumbuh dalam segenap jiwa manusia Nusantara selama perang melawan Belanda kala itu. Karena itu, beliau melontarkan pertanyaan kepada hadirin, “Apakah tanggal 1 Juni itu merupakan Hari Kelahiran Pancasila atau Hari Kelahiran Rumusan Pancasila?”. Ia mengatakan bahwa Pancasila memuat nilai religius, nilai moral, dan nilai etik. “Pemilu harus berdasarkan nilai-nilai itu, tetapi bagaimana dengan Pemilu 2024 ini?” ia kembali mengajak mahasiswa/i merefleksikan pilpres sebagai referensi.
Pesta Demokrasi yang Tidak Demokratis?
Pembicara kedua, yakni Pak Moko, memulai pidatonya dengan satire: “Pesta Demokrasi yang tidak Demokratis?”. Satu-satunya pembicara yang mengenakan kemeja batik ini menyinggung arti kayon atau gunungan wayang, “mengapa Kayon itu memiliki kerucut ke atas? Kayon berasal dari kata kayun yang berasal dari bahasa Kawi yang memiliki makna cita-cita atau kehendak.” tuturnya. Ia menyampaikan bahwasanya yang terjadi dan yang akan terjadi terhadap bangsa Indonesia ini sesuai dengan kehendak penguasanya. Pak Moko memaparkan materinya mengenai dimensi demokrasi. Terdapat tiga macam konsep demokrasi di dunia, yakni Demokrasi Barat (individualis), Demokrasi Pancasila (organis), dan Demokrasi Timur (kolektivis). Secara esensi, demokrasi terbagi menjadi dua, yakni prosedural: dari rakyat untuk rakyat. Kemudian, substansi: orientasi untuk kepentingan rakyat. Pak Moko menyinggung mengenai netralitas dalam Pemilu 2024 kemarin yang dalam tahapannya melibatkan TNI, Polri, ASN. Kemudian juga menyinggung netralitas penyelenggara negara seperti KPU, Bawaslu, bahkan pun netralitas kepala Pemerintah itu sendiri. Pak Moko menilai bahwa Pemilu 2024 ini merupakan ujian terhadap sistem ketatanegeraan kita.
Pancasila dan Kian Suramnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Pak Riawan, sebagai pembicara ketiga, atau yang oleh mahasiswa FH UAJY menjulukinya sebagai “Pendekarnya KPK” karena seringkali diminta oleh KPK RI sebagai ahli untuk membantu KPK dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Dosen yang memiliki pengalaman profesional sebanyak enam ratus tiga puluh satu ini memulai penyampaiannya dengan berangkat dari kasus pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian suram. Pak Riawan menyoroti lemahnya kapasitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, ketiadaan panutan atau benevolent strongman, ketiadaan stranas pemberantasan korupsi menjadi faktor utama. Beliau menyebut pada tahun 2022, skor Corruption Perception Indeks (CPI) Indonesia merosot menjadi 34 dari 2021 yang mencapai skor 38. Kemudian ia menyoroti Indeks demokrasi yang kian turun. ECONOMIST Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks mencatat skor Indeks Demokrasi 2023 Indonesia sebesar 6,53. Angka tersebut turun dari 2022 yang kala itu sebesar 6,71. Penurunan skor itu sejalan dengan penurunan peringkat Indonesia. Jika tahun lalu berada di peringkat 54, tahun ini Indonesia menempati posisi 56 dari 167 negara. Dengan skor dan peringkat tersebut, EIU masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara flawed democracy atau demokrasi cacat. Kemudian Indeks negara hukum yang stagnan (World Justice Project) melaporkan skor indeks negara hukum Indonesia atau rule of law pada tahun 2023 ada di level 0,53 (dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi). Skor ini sama dengan skor pada tahun lalu. Skor ini menempatkan Indonesia pada peringkat 66 dari 142 negara.)
Pak Riawan menyoroti terkait perjalanan kehidupan bernegara yang semakin bergerak ke bawah. Beliau menurutkan bahwa salah satu buah cipta dari reformasi adalah UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang merupakan bentuk kejengahan masyarakat Indonesia atas tindak KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan Keluarga Cemara-nya semasa tiga puluh dua tahun berkuasa. Akan tetapi, yang terjadi pada Pemilu 2024 ini justru kembali mendemonstrasikan segala bentuk KKN secara terang-terangan. Kita bisa berkaca melalui Pemilu 2024 ini yang nir etis dan krisis etika oleh penyelenggaraan negara.
Pak Riawan memberikan pesan kepada mahasiswa bahwa posisi mahasiswa sangat penting bagi perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni sebagai suara moral untuk masa depan Indonesia yang harus dibekali dengan belajar dari masa lalu agar bisa menyiapkan masa depan yang lebih baik.
Panggilan Sejarah Mahasiswa
Pak Budi, memulai pidatonya dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu sebagai bagian dari divisi provokator mahasiswa. Mendengar hal ini, langsung disambut oleh tawa para hadirin, khususnya oleh mahasiswa. Pak Budi menekankan bahwa Bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, oleh karena itu ia sangat senang dengan terselenggaranya acara ini. Adanya acara ini membuktikan bahwa mahasiswa/i FH UAJY juga memperhatikan situasi bangsa Indonesia dewasa ini yang sangat memprihatinkan dalam penyelenggaraan ketatanegaraannya.
Pak Budi membenarkan cerita dari Pak Hari mengenai dirinya saat terjebak di gang sempit dan harus merelakan motornya. Seluruh penyampaian dari Pak Budi disampaikan dengan humor yang membuat suasana semakin jenaka dan menghibur para hadirin. Pak Budi menyinggung mengenai sosok Hitler dengan mengutip perkataan Hitler: “Alangkah beruntungnya penguasa apabila rakyatnya tidak bisa berpikir”. Tentu saja hal ini berbahaya dan sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini. “Mahasiswa harus bisa berpikir” tegasnya. Peradaban menjuluki posisi mahasiswa sebagai “Generasi Penerus”, “The Agent of Changes”, dan “Moral Force”. Karena itu beliau menegaskan bahwa peran mahasiswa atau generasi muda sangat central bagi masa depan bangsa, Pak Budi berharap mahasiswa FH UAJY memiliki konsistensi dalam acara ini.
Pancasila dan Pemilu 2024: Refleksi Bersama
Pak Suryo, selaku dosen dari FISIP, menyambut baik semangat mahasiswa dalam menyelenggarakan acara konsolidasi ini. Ia mengatakan bahwa ini merupakan acara seperti ini merupakan acara pertama setelah berpuluh-puluh tahun lamanya. “Belum pernah saya melihat ada kegiatan acara seperti ini di kalangan kampus UAJY. Baru pertama kali ini saya melihat FH UAJY menyelenggarakan acara ini”. tuturnya. Pak Budi sangat senang bisa ikut bergabung dalam acara ini
Pak Budi menyampaikan road map dengan berangkat memasuki dimensi Pancasila. Beliau memulai dari preambul Pancasila sampai ke batang tubuh. Menurutnya, ada dua hal yang hilang dalam sila keempat dalam Pancasila saat ini, yakni “kerakyatan”, “kebijaksanaan”, dan “permusyawaratan”. Berkaca dalam Pemilu 2024 kemarin, kita bisa melihat bagaimana “kedaulatan rakyat” telah hampir kehilangan keutuhan dirinya. “Pancasila belum menjadi falsafah dan cara hidup dalam pemilu demokratis kemarin.” Ia menerangkan. “Pemilu 2024 memangs berjalan secara prosedural, tetapi belum sepenuhnya substantif. Ada pun sebetulnya rakyat tak butuh kedaulatan, tetapi pemenuhan kebutuhan riil keseharian”. Ia meneranglan bahwa citra politik mediatik saat ini mengalahkan daya kritis, di mana moralitas politik diabrogasi oleh pragmatisme politik transaksional. Ia menyoroti sebuah ironi bangsa di mana pembangunan ekonomi Indonesia akan relatif stabil tetapi itu semua berlangsung di atas kemunduran proses demokrasi yang substantif.
Pak Suryo mengajak para hadirin untuk mencoba merefleksikan Pancasila, pemilu, dan tindakan ke depan. Ia menilai bahwa marwah nilai-nilai reformasi telah "luntur" oleh "magnet" kekuasaan. Elitisme politik dan KKN akan berlanjut sehingga sila kedua, keempat, kelima cepat atau lambat akan menyusut di dunia politik. Dosen senior tersebut menyampaikan tindakan yang harus diperhatikan oleh segenap mahasiswa dan generasi muda, yakni mengasah daya kritis, memantau proses politik, sampaikan kritik "proporsional" via aneka media sosial, bangun karakter diri kaum muda, serta dokumentasikan perilaku elite untuk pembelajaran politik dan catatan sejarah ke depan. Pak Suryo menekankan bahwa kita semua harus memanfaatkan sosial media untuk mengomporkan segala macam kejanggalan-kejanggalan dari penyelenggaran negara.
B. Hengky Widhi Antoro, S.H., M.Hum.
Pak Hengky, sebagai pembicara termuda dari antara kelima narasumber yang hadir, Pak Hengky secara garis besar sangat mengapresiasi acara konsolidasi ini dan memberikan beberapa pesan. Ketua Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) ini mengatakan bahwa dirinya sudah lama menginginkan mahasiswa membuat forum-forum semacam ini dan berharap hal ini bisa menjadi budaya kegiatan mahasiswa FH UAJY. Ia meminta kepada panitia penyelenggara dan segenap mahasiswa yang hadir di sini agar forum ini tidak hanya sampai di sini saja, melainkan bisa dilakukan secara rutin. Pak Hengky menghimbau kepada teman-teman acara untuk membuat program kerja salam satu tahun di mana forum-forum dan inovasi seperti ini bisa masuk dalam master plan kegiatan keorganisasian mahasiswa FH UAJY. Beliau juga menambahkan bahwa forum seperti in bisa ke depannya bisa dibuat secara lebih tematik dan konsisten.
Acara yang berlangsung dari jam empat sore sampai jam delapan malam ini ditutup dengan foto bersama seluruh narasumber, panitia, dan peserta yang hadir. Sebelum selesai, panitia penyelenggara acara meminta para peserta untuk menuliskan sebuah pesan mengenai tema yang bersangkutan pada sebuah banner yang sudah disiapkan oleh panitia, berlangsungan dengan itu, ada juga pentas seni paduan suara yang dipimpin oleh Catra Jendra bersama teman-teman panitia membawakan lagu “Lautan Tangis” karya Sudjiwo Tedjo. Acara berlangsung kondusif dan jenaka.
“Tidak pernah ada kata kalah”
- Dr. Vincentius Hari Supriyanto, S.H., M.Hum.
(Wakil Dekan I FH UAJY)