Studium Generale Kalabahu 2023
- Tim Multimedia Fakultas Hukum
- 17 Dec, 2023
- Berita
- 113
Universitas Atma Jaya Yogyakarta mendapat kesempatan menjadi tuan rumah dalam agenda Studium Generale, Kalabahu 2023 yang diselenggarakan oleh PBKH yang bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH Yogyakarta). Acara ini berlangsung pada tanggal 6 sampai 12 Desember 2023. Hari Selasa, (06/12) kemarin, tepatnya di merupakan agenda pertama Kalabahu dengan mengangkat tema “Perkuat Gerakan Bantuan Hukum Struktural” dengan tajuk “Galang Persatuan Rakyat, Lawan Legalisme Otokrasi”. Adapun narasumber yang mengisi agenda tersebut adalah B. Hengky, selaku Ketua PBKH FH UAJY, Asfinawati, Ketua YLBHI 2017-2021, dan Made Supriatma, Peneliti ISEAS.
Berangkat dari topik legalisme otokrasi. Made Supriatma menilai, dalam rezim Joko Widodo, masih ada sebuah kebebasan berpendapat meskipun dalam sisi tertentu, ia menyimpan berbagai kejanggalan. Umpamanya, kita bisa melihat Majalah Tempo yang acap kali membuat sampul majalah yang mengundang sensasional dengan tampilan satire kepada penguasa. Misalnya, menyamakan Presiden Jokowi dengan Pinokio dan seterusnya hingga kini, Majalah Tempo masih memproduksi artikel-artikelnya. Kita bisa melihat lagi pada channel Youtube, Bocor Alus yang memuat berbagai konten wawancara dalam membahasa persoalan-persoalan yang kritis terhadap pemerintah. Namun, menurut Made, ada hal yang membedakan sebuah konten kritik. Yakni kritik sebagai entertainment dan kritik dengan motif politis. Konten-konten yang memuat kritik yang bermuatan politis, cenderung menjadi sasaran para buzzer.
Made berpendapat bahwa pemerintah memiliki instrumen yang lengkap dengan mengerahkan buzzer secara masif untuk kepentingan politiknya. Bahkan kini, kekuasaan pemerintah sangat mungkin mengintervensi hampir seluruh lembaga negara di Indoneisa untuk merawat dan menjaga marwah kekuasaannya. Hal ini menampikan suatu fenomena di mana legalitas otoritasi di Indonesia ini berkembang sangat subur untuk mengaburkan tugas birokrasi dan demokrasi Indonesia yang semesetinya dijalankan.
Made juga menyinggung apabila reformasi terhadap kepolisian sangatlah diperlukan. Menurutnya, sistem dan struktur dalam institusi kepolisian masih memiliki sisi yang sangat krusial dan cenderung menampilkan kesan ironi pada nilai yang dianut lembaga tersebut sebagai Lembaga negara yang berpihak pada rakyat. Made menyebut, sumber kerusakan kepolisian terletak pada UU yang mengatur terkait lalu lintas, sebab di situ banyak oknum-oknum yang meraup keuntungan. Kita bisa menganalisa politik hukum keberadaan pasal-pasal dalam UU tersebut dan implikasi ekonomis yang didapatkan oleh Lembaga kepolisian Republik Indonesia dalam menarik dana masyarakat melalui peraturan yang tidak masuk akal. Made mengatakan bahwa praktek dan pelaksanaan pasal ini yang dilakukan oleh aparat polisi dinilai menyimpang sebba implikasi dari pasal ini hanya sekadar target mendapatkan dana dari masyarakat melalui menilang, serta untuk kepentingan pribadi aparat kepolisian.
Felik, salah seorang peserta bertanya mengenai akar dari permasalahan Lembaga kepolisian tersebut dan menanyakan problem solving yang bisa diberikan terhadap polemik tersebut. Menanggapi pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa tersebut, Made pun menjawab bahwa akar permasalahan kepolisian ini adalah diciptakan oleh struktur organisasinya mirip dengan militer. “Pada dasarnya, kepolisian nasional itu tidak salah. Yang menjadi masalahnya adalah apabila kepolisian memiliki banyak power” katanya. Ia menyebut kepolisian adalah salah satu aparat penegak hukum di samping dari kejaksaan dalam hal introgasi, yang biasanya didasarkan pada penyiksaan agar yang didakwa mengaku. Pada praktiknya, di negara Common Law, misalnya, Amerika. Pengakuan dari terdakwa tersebut tidak sah karena pengakuannya dilandaskan pada penyiksaan, dan bahkan kasus tersebut bisa gugur. Dengan didasarkan dengan penyiksaan tersebut, hal ini membuat polisi bertindak sewenang-wenang sebagai aparat penegak hukum. Made menyebut, kekuatan selalu memiliki basis materiil. “Polisi tidak memiliki bisnis, tapi mereka memiliki sektor lain, yakni, lalu lintas, dan tembak SIM. Regulasinya adalah sumber ekonomi, selalu ada acara bagi mereka untuk mempersulit hiup anda, ini busuknya negeri kita.” tuturnya
Menanggapi problem solving yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut, Made berpendapat apabila akar permasalahannya adalah sumber ekonominya. “Iia harus dipotong dari sektor lalu lintasnya. Secara prosedur harus benar. Pengakuan yang didapat dari penyiksaan itu tidak berlaku, pengakuan yang dilakukan karena suap tidak bisa berlaku.” tuturnya
Menurutnya, struktur kepolisian hanya mengurusi kriminalitas, dan seharusnya di bawah naungan kemendagri. Brimob pada dasarnya adalah pasukan infanteri dan sebaiknya harus dibawah naungan oleh TNI. Ia pun menambahkan, demo tidak boleh membawa senjata. Hal yang terpenting adalah bagaimana nantinya agar kewenangan ini agar tidak disalahgunakan.
Tugas pokok negara adalah menjaga keamanan dan ketertiban. UU kepolisian melakukan “korupsi” kewenangan terkait sebagaimana yang ditulis dalam undang-undang. “Apa yang menjadi tugas dalam undang-undang, harus bisa menjadi fungsi. Kewenangan kepolisian di Indonesia bisa membuat orang menjadi tersangka” pungkasnya. Ia pun tak lupa menyinggung apabila PNBP kepolisian mendapatkan jumlah kasus paling tinggi (denda tilang). Hal ini menjadi urgensi atas polemik UU yang mengatur tentang lalu lintas yang mesti direvisi.
Membahas persoalan legalitas otoritasi, Asfinawatu pun menyinggung Pasal 33 ayat (3) yang menyebut bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurutnya, pasal ini memerlukan peninjaun kembali karena memiliki urgensi apakah memang berorientasi untuk kemakmuran rakyat atau kepada perusahaan yang disamarkan dalam slogan-slogan. Kita bisa melihat pada kasus Rempang di mana dalam kasus itu terdapat kasus tanah adat juga karena kebudayaan dan tradisi mereka hancur atas nama Proyek Strategis Nasional yang hal itu tersebut tak pernah diatur dalam UU.
Tanah bisa diambil alih oleh negara apabila tidak memiliki legal standing yang berkaitan dengan hal atas tanah memiliki fungsi sosial. Namun, tanah yang masuk dalam kategori tanah konservasi banyak yang tidak memiliki legalitas dan masih bisa dicaplok oleh negara. Padahal, dalam UUPA Pasal 33 ayat (3), disebutkan bahwa negara tidak memiliki hak atas tanah, melainkan hanya menguasai, di mana penguasaan hak atas tanag ini kembali lagi pada kepentingan rakyat, bukan kepada perusahaan.
Asfinawati berpendapat, negara punya hak apapun untuk membuat aturan hukum, namun rakyat bisa memiliki pandangan berbeda terkait aturan hukum yang dibuat negara tersebut. Ketua YLBHI periode 2017-2021 ini pun menggarisbawahi demokrasi tidak akan berfungsi apabila legalitas otokrasi memiliki kekuatan absolut dan terus disuburkan oleh para penguasa dari masa ke masa. Infrastruktur sosial dan politik menjadi penindasan yang dapat mempengaruhi kehidupan penduduk baik dari sisi sosial, budaya, dan ekonomi.
Pak Hengky, selaku Ketua PBKHI pun menyinggung kasus Wadas. Baginya, legalisme otokrasi pada kasus besar tersebut sudah absolut dan sedemikian parah. Perpajakan dengan representasi rakyat itu diperbolehkan, namun pajak dengan aturan hukum tanpa representasi rakyat adalah perampokan. "Legalisme otokrasi sudah akut, dan tidak lazim dalam Indonesia." ucap Pak Hengky.
Terkait konflik yang terjadi di Wadas, Bapak B. Hengky Widhi A, S.H., M.H. Perpres mengarahkan undang-undang untuk pengadaan tanah, namun gubernur mengeluarkan SK berdasarkan perpres “Pembangunan objek vital nasional”. Pak Hengky menambahkan bahwa, SK dapat Batal demi hukum, dapat dibatalkan, dianggap tidak pernah sah. Artinya pembatalan SK terkait "Pembangunan objek vital nasional" tersebut bisa saja dibatalkan, atau batal demi hukum.