Sebuah Prolog dalam Kuliah Praktisi “Peran Komnas Perempuan dalam Perlindungan terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual”
- Tim Multimedia Fakultas Hukum
- 10 Oct, 2023
- Berita
- 177
Praktisi Mengajar merupakan program Kemendikbudristek untuk mendorong kolaborasi praktisi ahli dan dosen agar tercipta pertukaran ilmu dan keahlian yang mendalam dan bermakna antar civitas akademika di perguruan tinggi dan profesional di dunia kerja. Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, menyelenggarakan Praktisi Mengajar di Kampus 1, Ruang 304. Kuliah praktisi ini menghadirkan Theresia Sri Endras Iswarini, S.H., M.A., selaku Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Senin, (09/10/2023).
Kegiatan bertajuk “Peran Komnas Perempuan dalam Perlindungan terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual” ini dihadiri oleh mahasiswa/i, khususnya mahasiswa/i yang sedang mengambil mata kuliah Ilmu Viktimologi dan Ilmu Kriminologi. Tak hanya mahasiswa, sejumlah dosen turut menghadiri kegiatan tersebut, beberapa di antaranya ada: Bu Puspa, Bu Nanda, Pak Vincent, selaku Dosen Viktimologi, dan juga Pak Widhi, selaku Dosen Kriminologi.
Ibu Endras, sebagaimana orang-orang akrab memanggilnya, merupakan alumni S1 FH UAJY lulusan tahun 1991. Kemudian ia sempat menempuh pendidikan di Universitas Colombia dengan mengambil mata kuliah "Human Right and Law" untuk mempelajari bagaimana menghubungkan Hukum dan HAM sebagai suatu koneksi yang tak dapat dipisah. Karena itulah Bu Endras dalam kuliah praktisinya menggunakan critical victimology sebagai alas untuk memastikan rekan-rekan mahasiswa memahami betul bagaimana beliau bekerja sebagai Lembaga HAM, yakni, Komnas Perempuan.
Sebelum sampai pada materi, Bu Endras terlebih dahulu menjelaskan eksistensi Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional untuk HAM (Hak Asasi Manusia). Komnas Perempuan merupakan salah satu dari tiga lembaga HAM di Indonesia. Selain ada Komnas HAM, ada Komnas Perempuan, kemudian ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dalam acara persidangan yang diselenggarakan oleh PBB, Komnas HAM beserta Komnas Perempuan ikut hadir di dalamnya untuk memberikan rekomendasi terhadap penanggulangan kekerasan terhadap perempuan pada sidang committee sebagaimana mandat Komnas Perempuan untuk melawan dan menghapus segala bentuk kekerasan pada perempuan.
Berdirinya Komnas Perempuan ditandai oleh tragedi Mei ‘98 saat lengsernya Presiden Soeharto selama berkuasa 32 tahun. Pelengseran Soeharto saat itu memberikan dampak pada lingkungan masyarakat, salah satunya adalah maraknya kasus pemerkosaan. Kondisi masyarakat pada saat itu masih memandang tubuh perempuan sebagai sesuatu yang politis. Sehingga, data dan fakta pada kasus pemerkosaan saat itu menjadi hal yang sangat kontroversial dan hanya berhenti pada Kejaksaan Agung, tidak ada proses lanjutan sampai pada tuntutan pidana. Sementara, para pembela korban kekerasan seksual terhadap perempuan saat itu banyak yang berakhir dibungkam atau dibui. Bu Endras menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan sebuah metode perang kepada kaum perempuan. Penuntutan lawan adalah dengan menjatuhkan moral perempuan sedemikian rupa. Hal ini yang menjadikan catatan Komnas Perempuan. Beberapa organsisasi dan aktivis perempuan sempat mendatangi Presiden Habibie untuk merespon kasus-kasus kekerasan terhadap permepuan dengan meminta data dan informasi terkait kasus-kasusnya.
Sampai kini, kekerasan seksual masih menjadi hal yang sulit untuk diungkapkan. Hal ini dikarenakan masih banyak korban yang merasa khawatir apabila kasus mereka diungkap karena takut nyawa mereka menjadi taruhan. Hal inilah yang menjadi catatan bahwa isu kekerasan seksual menjadi hal yang sangat politis. Oleh itu, kewenangan Komnas Perempuan saat ini adalah melakukan pendidikan publik, pemantauan, pencarian, pendokumentasian, pengkajian fakta, serta pemberian rekomendasi dan kebijaksanaan. Bu Endras mengabarkan bahwa hampir di setiap universitas di Indonesia, mulai dari S1, S2, dan S3 biasanya mengangkat salah satu isu perempuan menjadi salah satu bahan skirpsi mereka. Bu Endra juga mengabarkan kepada rekan-rekan mahasiswa apabila tertarik untuk mengangkat isu perempuan, maka Komnas Perempuan bersedia membantu dengan memberi informasi melalui pewawancaraan. Hal ini menunjukkan bahwa kerja Komnas Perempuan juga dimanfaatkan oleh institusi pendidikan. Dasar kedudukan Komnas Perempuan adalah Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 15 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Kerangka hukum Komnas Perempuan meliputi Konstitusi, CEDAW, Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi pada perempuan, dan CAT, Konvensi Anti Penyiksaan.
Critical Victimology dan Feminist Legal Theory sebagai Metode Pendekatan
Dalam kuliah umum praktisi mengajar, Ibu Endras menyampaikan materi terkait pendekatan korban kekerasan seksual melalui critical victimology. Lebih lanjut, Ibu Endras menjelaskan bahwa critical victimology dan feminist legal theory adalah acuan kerja Komnas Perempuan. Kedua hal tersebut menjadi hal yang sangat penting karena merupakan sebuah respon dari positivisme yang memfokuskan pertanggungjawaban pada korban, sehingga kerap kali melahirkan hukum yang tidak adil gender atau seksis. Tidak hanya itu, Ibu Endras juga menerangkan bahwa dengan mengadopsi pendekatan melalui critical victimology dan feminist legal theory bisa mengubah kerangka hukum yang terdiri atas struktur, substansi, dan kultur. Melalui pendekatan tersebut akan muncul sebuah ruang yang aman bagi para korban untuk mendapatkan jaminan perlindungan.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan ada kaitannya dengan relasi kuasa, beliau mengatakan pelaku berasal dari orang terdekat korban. Namun, seringkali korban enggan untuk melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya karena korban memikirkan orang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan dirinya, atau di dalam beberapa kasus yang lain disebabkan karena korban tidak memiliki akses terkait nomor-nomor layanan pemerintah. Ibu Endras menjelaskan bahwa tahapan paling tinggi atau paling ekstrim dari kekerasan terhadap perempuan yang pada akhirnya sampai menyebabkan kematian disebut dengan Femisida. Femisida ini merupakan kekerasan yang ditujukan kepada seseorang karena korban tersebut adalah perempuan.
Pada tahun 2000 KOMNAS Perempuan membuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) yang berdasar pada situasi yang dialami oleh korban. Sistem ini dibuat untuk menciptakan sinergitas antara aparat penegak hukum dengan lembaga layanan yang bertujuan untuk memberikan ruang kepada para korban. Dengan adanya sistem ini korban diberikan ruang tersendiri untuk menceritakan secara kronologis apa yang dialaminya sehingga aparat penegak hukum bisa menemukan apakah di dalam kasus tersebut terdapat unsur tindak pidana.