FH UAJY Menyelenggarakan Seminar Publik Dengan Tema Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- Tim Multimedia Fakultas Hukum
- 08 Dec, 2024
- Berita
- 11
Rabu (04/12/2024) Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Publik dengan judul “Urgensi Mewujudkan Tata Kelola Dana Bantuan Korban dan Pelaksanaan Restitusi bagi Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. Seminar Publik ini mengundang 3 (tiga) Narasumber yang berasal dari akademisi dan praktisi, yaitu Dr. G Widiartana, S.H. M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dio Ashar Wicaksana, S.H., M.A. selaku Dosen tetap STIH Adhyaksa, Ph.D Student at Australian National University, dan Ahelya Abustam, S.H., M.H. selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sesi awal dibuka dengan opening speech yang disampaikan oleh Prof. Dr. Th. Anita Christiani, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dalam pidatonya, beliau berharap bahwa acara ini dapat memberikan pengetahuan lebih luas serta diharapkan dapat menjaring masukkan-masukkan yang diberikan mengenai pembentukan dana bantuan korban tindak kekerasan seksual dan tata kelolanya. “Terima kasih untuk seluruh tim dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan juga tim dari Fakultas Hukum UAJY sera seluruh undangan yang hari ini hadir pada saat ini. Semoga apa yang kita dapatkan dapat memberikan hal-hal penting untuk pembentukan peraturan yang lebih detail supaya ketentuan mengenai dana bantuan korban dapat teraplikasikan dengan lebih baik,” jelas Prof Anita.
Bapak Dio Ashar Wicaksana, sebagai pembicara pertama, menyampaikan materi mengenai Victim Trust Fund yang dilihat dari sejarah adanya victim trust fund yang akhirnya diikuti oleh berbagai negara di dunia, penerapan victim trust fund dan victim support di beberapa negara, pengaturan restitusi dan kompensasi di Indonesia, serta mekanisme sistem victim trust fund di Indonesia. Secara keseluruhan, Bapak Dio menjelaskan mengenai dana bantuan dan pelaksanaan restitusi dari sisi internasional.
Bapak Widiartana, selaku pembicara kedua, memaparkan materi mengenai bagaimana sistem positif hukum Indonesia mengatur dana restitusi bagi korban kekerasan seksual. ketentuan ganti rugi bagi korban kekerasan seksual terdapat dalam empat peraturan, yaitu ganti kerugian dalam KUHP, ganti kerugian dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, ganti rugi dalam KUHAP, dan ganti rugi dalam berbagai Undang-Undang di luar KUHP. Dalam KUHP terdapat ketentuan yang memungkinkan dibebankannya ganti kerugian kepada pelaku tindak pidana yang oleh hakim dijatuhi pidana bersyarat. Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP terdapat tiga macam ganti kerugian digunakan sebagai syarat, yaitu sebagai pidana tambahan (Pasal 64 huruf b jo Pasal 66 ayat (1) huruf d) dan dimasukkan sebagai syarat khusus dalam pembebasan bersyarat (Pasal 76), dan dimasukkan sebagai syarat khusus dalam pidana pengawasan (Pasal 76). Dalam KUHAP, ketentuan ganti rugi diperuntukkan bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan dalam tingkat penyidikan atau tuntutan, bagi tersangka atau terdakwa yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasar undang-undang atau keliru mengenai orangnya atau keliru mengenai hukum yang diterapkan, juga bagi orang lain yang mengalami kerugian akibat dari suatu tindak pidana yang perkaranya disidangkan (Pasal 77, Pasal 95, Pasal 98 – 101). Tidak hanya Undang-Undang yang disebutkan di atas saja, namun terdapat beberapa Undang-Undang juga yang mengatur mengenai ganti kerugian diantaranya adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bapak Solikhin, sebagai pembicara ketiga, menyampaikan mengenai implementatif pemberian restitusi di Indonesia (lebih tepatnya di Yogyakarta) serta peran dari kejaksaan wilayah Yogyakarta dan kerja sama dengan pihak terkait dalam rangka pemulihan korban kekerasan seksual. Secara singkat, Bapak Solikhin menyampaikan terkait Hukum Acara Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), larangan penyelesaian dan alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS, pendampingan yang diberikan kepada saksi dan korban, beberapa perkara yang telah diputus oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta tantangan dan hambatan dalam penerapan akses terhadap keadilan.