Dari Gelombang Kreasi Konten ke Jalan Lain Menuju Gelombang Hukum.
- Tim Multimedia Fakultas Hukum
- 14 Oct, 2023
- Berita
- 321
Sebuah Prolog
Sabtu pagi, (1/10), Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta menyelenggarakan seminar dan pelatihan dengan tajuk “Konten Kreatif di Media Sosial dan Aspek Hukumnya” yang diselenggarakan di Kampus 1, Ruang 306. Rangkaian acara ini terbagi menjadi dua sesi, yakni, sesi pertama terkait pemaparan aspek hukum dalam dunia IT yang diwawasi oleh Dr. Aloysius Wisnubroto, SH., M.Hum, salah seorang dosen pidana Fakultas Hukum UAJY. Kemudian sesi kedua yang dibawa oleh Suri Sugandi Surya Talita, S.Pd. dari Tim Effion Creator School yang memimpin sesi pelatihan mengenai konten kreatif.
Kegiatan akademik ini diselenggarakan mengingat masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan saat ini, tidak bisa mengelak dari era informasisasi. Sebuah era di mana teknologi semakin hardi dan dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pak Bowo, selaku ketua acara, menyampaikan sebuah prolog dengan mengungkapkan kegelisahan dan situasi masyarakat dalam menghadapi dunia IT dan implementasi UU ITE. Dalam pidatonya, beliau mengajak teman-teman untuk mengantisipasi terkait berbagai isu yang sering muncul di dunia IT, salah satunya adalah pertarungan ideologi yang semakin gencar di media sosial, terlebih lagi ketika mulai memasuki tahun politik, yakni pemilu 2024 yang akan datang. Pak Bowo berharap acara ini bisa menjadi wadah pembelajaran yang berbasis pada proyek untuk mengembangkan wawasan nasionalisme dan patriotisme melalui penggelaran karya di media sosial. Pak Bowo tak lupa menyampaikan bahwa media sosial harus menjadi menara air yang memberikan kesejukan untuk kehidupan bermasyarakat yang lebih berkualitas dan sehat. Lebih lanjut lagi, beliau juga menghimbau teman-teman untuk menjalin kolaborasi, sinergi, dan silahturhami dengan berbagai kalangan masyarakat, mulai dari doktor, budayawan, cendekiawan, aparat kepolisian, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, dan seterusnya. Hal ini harus dilakukan secara kontinu dan permanen demi untuk menuju ‘Indonesia Emas’ yang lebih baik.
Riding The Wave
Pak Wisnu, salah seorang dosen pidana FH UAJY yang juga merupakan seniman jawa, yakni, seorang Dalang, memulai pemaparannya dengan berangkat dari istilah “Content is The King”. “Content is The King” merupakan sebuah istilah yang merujuk pada konten kreasi yang menjadi poros utama dari dunia IT, khususnya pada digital marketing, di mana konsumen utamanya adalah pengguna media sosial. Pak Wisnu menyinggung strategi digital marketing dalam upaya media untuk menarik konsumen untuk larut ke dalam produk-produk marketing Si Penjual dengan menggunakan kreasi konten.
Dalam kreasi konten, Pak Wisnu menyebutnya dengan istilah riding the wave. Riding the wave merupakan fenomena di mana kreativitas dan inovasi yang meliputi unsur muatan visualisasi dan juga retoris memberikan dampak yang besar untuk menarik dan mempengaruhi gelombang pemasaran bagi konsumen dari pelbagai kalangan.
“Ada tiga paham dalam melihat regulasi hukum dalam dunia IT.” tutur Pak Wisnu, “yang pertama adalah ‘freedom of information’ dan ‘free flow of communication’, penganut paham ini mengatakan bahwa tidak perlu ada aturan negara dalam cyber space, jadi, aturan yang disepakati cukup cyber community saja.” Ia meneruskan, “aturan tetap harus ada tetapi sesuai dengan rambu-rambunya agar tidak terjadi kriminalisasi yang berlebihan”. Kemudian Pak Wisnu lanjut menjelaskan jika penganut paham kedua, yakni, “HAM Universal”. Penganut paham ini berpendapat bahwa dalam dunia IT justru memerlukan aturan negara, tetapi dengan catatan tidak boleh menghapus hak-hak kebebasan berpendapat dan berkespresi. Sementara, penganut paham “Nilai-Nilai Luhur” memerlukan aturan negara yang di dalamnya termasuk pembatasan terhadap hak kebebasan yang bertentangan dengan nulai-nilai luhur, seperti sopan santun, adab, kebijaksanaan, dan kebajikan.
Dalam pemaparannya, Pak Wisnu menyinggung persoalan kesenjangan antara budaya dan pemanfaatan teknologi. Ia mengajak masyarakat untuk sadar terhadap etika akan segala bentuk tindakan dalam bermedsos, khususnya dalam melakukan publikasi postingan ke platform digital. Rendahnya tingkat lietrasi menyebabkan pengguna media sosial bisa terjun bebas tanpa mengerti konteks atau aspek isu yang ada di media. Kebebasan bermedsos tanpa atlas nilai yang benar ini dapat menimbulkan reaksi yang buruk atau menjdaikan situasi masyarakat yang semakin chaos.
Beliau menyampaikan bahwa fenomena post-truth adalah sebuah keadaan di mana masyarakat memiliki kecenderungan psikologi untuk mudah mengukur suatu kebenaran yang berlalu-lalang di dunia maya. Fenomena post-truth ini menggambarkan sebuah potret realitas di mana kebenaran dalam dunia maya tidak ditentukan oleh fakta-fakta yang ada, melainkan oleh presepsi yang dibentuk oleh media dari pelbagai jurusannya. “Kita disuguhkan oleh konten pro-kontra yang menghasut perspektif kita menjadi tidak objektif. Tak sedikit persepktif masyarakat yang dipengaruhi oleh fenomena post-truth ini sehingga mereka semua mudah bertengkar di media sosial, hal ini kalau diteruskan dapat memperparah perpecahan yang sudah berlangsung.” tutur seniman Jawa itu.
Kebebasan Vs Sanksi Hukum
Dalam sepak terjang kebebasan berekspresi di media sosial. Ki Wisnubroto, mengatakan bahwa sanksi hukum saat ini masih dipandang seolah-seolah membatasi kebebasan. Hal ini masih menjadi polemik yang berjalan dari waktu ke waktu. Ia mengajak teman-teman untuk berpikir jernih dalam membedakan segala bentuk ekspresi kebebasan. Mana yang pendapat, mana yang kritik, mana yang ekspresi, mana yang kesusilaan, dan seterusnya.
Dosen Pidana dan seniman Jawa itu memaparkan undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat, di antaranya ada:
· UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
· UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
· UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
· UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
· UU No. 36 Tahun 1999 tentang Komunikasi
· UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE jo. UU No. 19 Tahun 2016
· UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
· UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
· UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
· UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
· KUHP
· UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat aturan terkait dengann konten kreatif di media sosial. Contohnya adalah hoax, clickbait, dan seterusnya. Pak Wisnu juga menjelaskan mengenai pasal pencemaran nama baik. Beliau menuturkan bahwa pasal ini bukan untuk melindungi orang yang tersinggung. Melainkan melindungi seseorang supaya tidak dijatuhkan reputasinya. Hal ini juga memerlukan pembuktian apabila terdapat bahwa kata-kata yang menyebabkan reputasi seseorang jatuh. Hal ini tercantum dalam pasal 28 ayat (2) UU UTE. Kemudian ia tak lupa menyampaikan bahwa di dalam Pasal 156 KUHP memiliki sifat karet. Karena ujaran kebencian pada dasarnya tidak ada definisinya. Sementara itu, pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat relative. Artinya, ia bergantung pada konteks, motif, tujuannya.
Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono (Gitu Ya Gitu, Tapi Jangan Begitu)
Sesi tanya jawab
Pak Naryo : “Para pengamat politik, dalam memberikan tanggapan atau argumentasi, selalu mengawali jawabannya dengan kalimat “menurut pendapat saya”. Apakah ini merupakan suatu bentuk untuk melindungi diri mereka dari jeratan hukum?”
Pak Wisnu : “Pendapat itu tidak bisa dihukum. Kita sudah punya UU yang menjamin hal itu. Kita tidak bisa memaksakan pendapat kita adalah benar. Karena, pendapat orang merupakan ukuran dari orang terbebut. Kalau betul-betul murni pendapat, maka ia tidak bisa dihukum. Tetapi, kalau kalau pendapat itu memiliki tendensi, ada motif, ada niat untuk menyerang kehormatan dan hal ini pun tidak mudah untuk dibuktikan. Itu bisa dikenakan delik pencemaran nama baik.”
Pak Aryadi : “Indonesia memiliki sumbu yang kita sebut sebagai Pancasila. Namun, sebagai orang Jawa, ada pepatah yang berbunyi “di mana langit dijunjung di sana bumi dipijak”. Ketika orang melontarkan pendapat atau kritik yang benar dan sesuai dengan kenyataannya. Tetapi dalam cara penyampaiannya, ia justru memicu pertengkaran. Bener ning ora pener (benar tapi belom tentu tepat). Bagaimana tanggapan Pak Wisnu mengenai fenomena itu?”
Pak Wisnu : “Bagi kalangan tradisi tertentu, orang Jawa itu berbicara dari roso (rasa). Tetapi budaya itu pelan-pelan mulai luntur. Media sosial bisa mendidik tapi juga merusak. Tidak semua masalah itu harus diselsaikan dengan hukum. Kita harus memperhatikan akar masalahnya, karena penegakkan yang utama adalah edukasi, bukan hukum. Leluhur kita mengajarkan demikian. Nomor satu adalah adab dan etika. Bener ya bener, tapi belum tentu pener (tepat)
Pak Agus : “Banyak konten yang saling menyudutkan dalam media sosial. Misalnya ketika pendukung Prabowo menyerang pihak Anis. Nah, suapaya pemilu ini menjadi panggung yang baik dan benar, bisa menjadi panggung yang menunjukkan dirinya adalah calon pemimpin yang berkualitas, bukan malah saling mencela. Supaya pemilu ini aman damai dan berkeadilan, bagaimana kira-kira solusinya?"
Pak Wisnu : “Saya kira, hal itu berkaitan dengan strategi dan adab bermedsos yang baik. Di samping itu, pada dasaranya, konten itu butuh materi, riset, kolabroasi, staretgi. Dan Bu Suri saya kira lebih memilki kapasitas untuk menjawabnya sebagai generasi milenial.”
Pak Jupri : “Sekarang ini banyak konten-konten yang menggunakan media seni untuk mempromosikan sesuatu. Mulai dari politk, pembangunan, dan seterusnya. Namun, biasanya, konten-konten tersebut tak jarang yang merupakan adopsi dari sana-sini untuk kemudian masuk sana-sini. Bagaimana menanggulangi rasa kekhawatiran untuk berkreasi supaya tidak tersandung atau terjerat plagiat.?”
Pak Wisnu : “Di kalangan seniman, pastinya ada sebuah komunitas atau paguyuban, dan sebagai sesama seniman, mengadopsi karya seni, baik itu dari metode, gaya, hasil merupakan hal yang lumrah, karena banyak seniman-seniman yang suka sowan (permisi) kepada seniman lainnya untuk meminjam suatu metode atau karya mereka. Dan di kalangan seniman itu merupakkan bagian dari ikatan silahturahmi antar manusia yang lumrah. Tentu hal itu juga berkaitan dengan perijinan dari pihak yang bersangkutan. Di samping itu, ada UU yang mengatur tentang Hak Cipta. Sepanjang itu tidak bersifat komersial, maka itu aman-aman saja. Tetapi kalau adopsi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, maka istilah “hak ekonomi” yang harus dibayar kepada pihak yang bersangkutan.
Untuk menutup sesi satu yang telah diisi oleh Pak Wisnu dalam pemaparan aspek hukum pada konten kreatif. Pak Bono, yang berperan selaku moderator bersama dengan Bu Imma, mengajak kita untuk mengunakan media sosial secara bijak dan bermartabat. “Ngono yo ngono, neng ojo ngono,” celetuk Pak Bono yang diikuti dengan tawa para audiens.
"Karena penegakkan yang utama adalah edukasi, setelah itu hukum."
- Dr. Aloysius Wisnubroto, SH., M.Hum